Kado Kecil untuk 2020
Kursi dan Ruang yang Terisi Waktu
Ingatan minggu ini tertuju pada
peristiwa titik balik sebuah sejarah..
Aku ingin mengajakmu mengisahkan
kembali tentang tahun-tahun sebelumnya...
Sekaligus akan
ku kenalkan dengan mereka yang namanya tak perlu ku sebut, tapi ku pastikan kau
mengenalnya..
Bercerita
tentang mereka yang jauh lebih lama mengenal ikatan ini, akan coba ku mulai
dari bagaimana mereka membangun hal tersebut dari sebuah harapan jadi tukang
foto-foto sampai jadi penyusun masa depan gerakan, dari mimpi anak rantau
Kalimantan yang menjauh sampai ke Jakarta, hingga celotehan gurau tentang tuan
rumah yang di wujudkan di tanah kelahiran. Teman, semua ini tentang sejarah
yang harus terus di ingat, untuk jadi tanda bahwa sejarah ini benar-benar kita abadikan
dengan segala rasa cinta.
(2017)
Menjadi tahun
titik balik dari perjuangan beberapa di antara kami yang masih berproses, bukan tanpa penolakan dari mereka
namun juga dari penolakan diri, seakan membuat diri meyakini bahwa ini hanya
tentang amanah dan jabatan sepele yang akan cepat berakhir. Hal yang tidak
pernah terfikirkan dari anak yang baru lulus sekolah dan sedang mempersiapkan
diri untuk dunia yang di penuhi tugas dan malam sebagai teman untuk tetap
membuka mata. Well, itu hal yang aku dan teman-teman ku alami. Agustus 2017,
kalau aku bisa balik ke hari itu, aku pasti memikirkan dua pilihan, menerima
pinangan amanah atau menolak dengan keluguan. Sumpah, kalau waktu itu bisa ku
ulang, aku ingin memastikan diri bahwa aku tidak akan pernah menyesal bilang
“Yes, I do”.
Namun cerita
itu biarlah mereka yang tau, aku hanya akan bagian cerita mereka tentang doa
untuk kursi-kursi yang kini telah terisi..
(2018)
Adalah tahun
yang sangat bermakna dalam hidupku, banyak sejarah yang di mulai untuk
mewujudkan mimpi-mimpi lama tersebut. Ada satu moment yang jadi alasan mengapa
aku masih disini, moment yang membuat aku sadar bahwa sekedar ikhtiar saja tak akan
membuat semuanya menjadi perjuangan yang nyata. Konpiwil 2018 menjadi agenda
dan tamparan keras bagi ku dan mungkin bagi kamu yang tau ceritanya, sepolos
itukah aku saat maju dan duduk untuk mempertanggungjawabkan semua amanah yang
mereka telah percayakan pada perempuan yang baru semester 2 pada saat itu. Entah
apa yang aku fikirkan, tapi satu hal yang aku tekankan pada diriku, bahwa semua
ini harus dilewati. Masih ingat jelas di ingatanku, kata-kata yang terucap dari
dia yang tertulis di DM Instagram
saat aku mengucapkan selamat atas berkurangnya usia dia saat ini.
“Terus belajar sakit ya. Dalam Sakit ada proses untuk kita”
Bukan sebuah penyesalan yang saat
itu hadir, tapi rasa bersalah mengapa tidak lebih awal aku belajar sakit. Kebanyakan
mungkin berfikir bahwa organisasi adalah tempat membuang waktu dan menyiksa
diri, hal itu yang sempat terlintas di fikiranku. Namun, moment itu aku yakini sebagai cara Allah SWT untuk menegur bahwa sukses
itu tidak boleh terlalu cepat di rayakan. Dari lebih sejumlah kursi di depan
saat itu, hanya terisi tidak lebih dari hitungan jari.
Menyesal? Kecewa dengan mereka?
Putus asa dengan semua yang udah dilakuin? Itu cuma kalimat untuk orang yang
lebih banyak bermimpi untuk jadi seorang pemimpin.
(2019)
Jadi awal
jawaban atas mimpi dan doa yang coba di wujudkan, banyak kisah drama pada
Musywil 9 sebagai pembuka lembaran baru kehidupan kami. Ada kisah-kisah yang mulai
tertulis disana, ada tokoh-tokoh yang mulai memerankan dengan sempurna dalam
sejarah, ada pula yang mencoba untuk menyelesaikan sejarah itu dengan khusnul
khotimah. Tapi jujur aku nggak pingin kembali ke masa itu, cukuplah sebagai
cerita bagi mereka yang punya kisah perjuangan di dalamnya.
Hingga tiba
pada satu mimpi yang untuk membawa Khatulistiwa ini terdengar ke seluruh
pelosok negeri. Memperkenalkan tempat kelahiranku pada semua pejuang pena yang tersebar
jauh untuk bertemu di titik 0˚. Itu bukan mimpi kami, kami hanya
beruntung mendapatkan peran di dalamnya. Mewujudkan mimpi lama dari pendahulu
kami yang berjasa atas keberadaan kami disini dengan identitas pelajar yang
terus kami bawa. Rasanya, tahun ini aku jadi salah satu perempuan yang paling
cengeng dunia.
tau kenapa?
Aku turut menyaksikan
setengah dari sejarah mereka yang memulai rapat dari rumah kerumah hingga saat
ini sudah ada sekretariat sendiri, dari ngerjain proposal yang numpang di meja PWM
sampai sekarang udah punya printer dan meja sendiri, dari tempat ngumpul
sebelum kegiatan nasional di kontrakan yang banjir sampai sekarang bisa punya rumah
sendiri, dari kegiatan tm1 yang dulu semuanya turun terlibat, hingga sekarang semua
itu kita tau lewat postingan mereka di media sosial. Tanpa sadar, kita telah
sampai pada masa itu, masa yang menyadarkan bahwa ada campur tangan Tuhan atas
semua proses yang kita lalui. Satu lagi dari sosok pemimpin yang kalimatnya aku
tanam dalam diri.
“Jangan pernah takut mengemban suatu tugas, dengan resiko apapun”
Aku enggak berusaha
untuk kecewa, putus asa, atau bahkan bilang kalau aku menyerah, selalu aku ingat
pesan dan harapan besar mereka padaku. Bahwa apa yang telah terwujudkan saat
ini adalah hasil dari doa dan ikhtiar bagi kita yang terus berproses.
Semua yang
terjadi saat itu tidaklah aku lewati sendiri,aku punya sosok perempuan yang mencoba
memahami caraku bertahan, ia ku kenal saat waktu masih memintaku untuk tak
saling tegur menegur. Ya, saat itu terlalu menakutkan untuk dekat dengan
perempuan ini dan bagiku dia terlalu beda denganku untuk jadi seorang teman. Qadarullah,
Tuhanku selalu punya alasan mengapa aku harus bersamanya, dari awal di pertemukan
pada satu bidang hingga semua nama kami di proposal selalu di sandingkan. Sejak
tragedi minyak kayu putih dan air hangat di perjalanan menuju Martapura itu,
hingga pada saat dia mulai suka menggunakan bros di jilbabnya, yang jadi salah
satu kebahagiaan terbesarku, aku paham tentang perempuan ini. Gadis yang
terlalu mudah untuk aku pengaruhi dan mudah untuk percaya, tapi kadang
menakutkan kalau moodnya lagi nggak bagus. Jujur sejak saat itu aku terlalu
takut kehilangan perempuan yang selalu nemani aku di sekretariat sampai tengah
malam, yang selalu jadi korban kegabutanku, yang selalu merhatiin aku setiap
kali aku cerita padahal aku sering buang muka karena aku takut nangis di depan
dia. Oh Tuhan, bidadari apa yang kau kirimkan
kepadaku hingga aku sulit untuk jauh darinya.
Terlalu cuek dan
pura-pura nggak perduli padahal aku tau seperhatian apa dia sama aku, tapi
kalau dia baca tulisan ini, aku mau bilang sesuatu sama dia.
“Ay, kita sering kan ngayal kalau
suatu hari nanti foto kegiatan pw itu nggak cuma kita berdua lagi ceweknya”
Tahun ini
semua khayalan itu di kabulkan, sekarang kalau ke cafe nggak harus aku temanin
kan, kalau mau nyusun kwitansi buat LPJ juga udah ada yang bantuin, kalau kamu
mau sebar proposal sekarang udah ada yang nganterin selain aku. Aku sadar, dari
setiap mimpi tentu ada konsekuensi yang harus di terima, semua ini juga hasil
dari proses kita sebelumnya. Bukan jawaban karena waktu kita saat ini berkurang,
bukan juga karena foto kita berdua sekarang mulai jarang, tapi ini karena kita
sadar bahwa ada masanya kita lelah dan butuh tangan lain untuk mengenggam dan
memastikan kita tetap berdiri. Mereka yang saat ini hadir adalah bukti kalau
kekuatan cinta itu bukan hanya mereka yang sedarah, namun juga bagi mereka yang
yakin bahwa berjuang itu tak bisa hanya berdua.
Kursi itu sekarang sudah terisi
banyak, terima kasih kamu dan kalian sudah kembali dan datang untuk mengisi
ruang itu agar tak lagi sunyi, terima kasih atas candaan yang membuatku yakin
bahwa rasa sakit ini harus terus membuatku nyaman di ikatan, terima kasih sudah
menjadikan setiap moment kebersamaan menjadi alasanku untuk sulit menjauh, dan
terima kasih untuk setiap pelajaran yang tak mengenal batas usia.
Kamu dan
kalian sudah ku sambut untuk menetap di kisah hidupku, aku akan berhutang sejarah
dengan kalian, memastikan setiap kisah menuliskan nama kita untuk terus di ingat
dalam sejarah generasi masa depan.
Aku punya satu
harapan yang ingin sekali terwujud di tahun depan, bantu aku untuk mengisi
kursi saat Januari tahun depan ya?
Komentar
Posting Komentar