Tidak Semua Aku Dirayakan
Lantunan suara riuh terdengar menembus ruang semu dengan redupnya cahaya dari sudut kamar Kana. Mengalunkan nada seirama, seakan ikut terucap kerinduan akan suasana yang kini mengiring Kana menapakkan dirinya tepat di dahan pohon paling rapuh yang terlihat tidak cukup kuat menandingi hembusan lirih angin malam itu. Ia tau ini bukan yang pertama, namun ini juga bukan yang kesekian kali ia berpaling diri merenggangkan ikatan batin sejak momen itu dikisahkan pada bulan pertama kembalinya fitrah manusia baik.
Mungkin ini hanya kekhawatiran
Kana, mungkin juga Kana hanya sedang lebih banyak tertidur untuk melanjutkan
kisah di mimpinya yang jauh lebih nyata dibandingkan saat ia harus bangun dan
keluar menyapa senyum hangat yang tidak lagi terasa dekat baginya.
Kana memulai kembali melukis langit
setiap malamnya dengan sekumpulan gelisah dan khawatirnya ditemani gemerlap
bintang dan lengkungan indah bulan sabit pada pertengahan musim itu seakan
mengajak Kana ikut melengkungkan senyumannya di antara banyak cerita sepi tanpa
pendengar. Dialognya dengan pemilik cahaya malam itu terdengar seperti putaran
kaset yang terus diulang dengan rasa dan resah yang sama. Kana menyimpan rapi
segala khawatir dan cemasnya di balik pintu usang yang sudah mulai sulit Ia geser
setiap kali ia ingin membukanya. Namun, pintu itu menjadi tameng paling
berharga bagi Kana setiap kali kekacauan dirinya tak sengaja tumpah di lantai
kayu kamarnya. Ia tak suka melihatkan semua itu pada orang lain, mencoba
menyusun dan merapikannya perlahan walau terkadang sering menambah luka gores
yang cukup membekas di benaknya.
Narasi kelam itu kini lebih
sering terlintas dibenak Kana, walaupun sempat ada ruang baginya untuk
bercerita dan mengobati perlahan luka itu, namun sepertinya ia tak mengobatinya
pada luka yang sesungguhnya, hanya mereda lalu kembali saat ia memulai kembali
halusinasi tingginya.
Memeluk dan menepuk perlahan bahu
dengan telapak tangannya sambil terbaring menutup mata, tanpa mengajak bintang
dan bulan malam itu, Kana mencoba memperlihatkan kerapuhannya saat itu. Melepaskan
semua penjagaan diri yang ia buat cukup kuat hingga banyak mata memandangnya
cukup baik untuk berada di dahan pohon paling tinggi.
Penghujung musim panas ini ia
memilih kembali mengurung raganya dari banyak kebahagiaan yang hanya akan ia
dapatkan setahun sekali. Kana enggan mengembalikan senyum nya di momen ini, ia
sadar kebahagiaannya mulai pergi bersamaan dengan kepergiaan banyak orang
paling berharga baginya. Momen itu tak pernah lagi berharga baginya, kini ia
hanya ingin sadar bahwa ia ingin hidup dengan dirinya dahulu. Ia cukup memiliki
sedikit harapan itu bertahan dan melanjutkan lukisan malamnya dengan tenang.
Tidak semua Kana rayakan, tidak
semua merayakannya. Mengalunkan cerita tanpa banyak menempatkan diri pada keramaian
dan kebahagiaan banyak orang, Kana hanya melakukan itu sekarang. Sulit baginya
menebak kembali setiap tutur batin dari sekian banyak orang yang mengasihinya. Ia
tak butuh itu, karena tutur kata mereka sudah cukup banyak berperan membuatnya
memaksa diri untuk menata menyapu sendiri air matanya setiap kali ia cukup
lemah dengan dunia nyatanya.
Komentar
Posting Komentar