Barbie Land

Sebagai salah satu mantan anak perempuan yang dulu suka bermain Barbie, walaupun lebih excited dapet mobil remot dari hadiah sepatu. Well, sebenarnya cukup kaget dengan kehadiran film Barbie yang memerah mudakan seisi bioskop dunia. Sempat beberapa kali hampir tayang, sepertinya film Barbie memang telah dipersiapkan mateng banget, bahkan sampai harus 3 kali ganti rumah produksi, dan diakhiri oleh kemasan Warner Bros (2018). Panjang banget sih perjalanan Barbie untuk sampai di bioskop.


Kalau ada yang belum nonton dan punya ekspektasi tinggi akan scene romantis, dramatis atau komedi. Kayaknya harus mengubur harapan itu deh.. hehe


Trailer Film Barbie sebenarnya dikemas rapi sampai nanti pada akhirnya penonton sadar kalau ini bukan film yang dibuat untuk melihat dunia Barbie dengan segala pernak pernik serta "Barbie dream house" yang dulunya mungkin beberapa dari kita memiliki aset Barbie yang lengkap dari pakaian, mobil, alat dapur hingga rumah mainan Barbie yang serba pink dan putih.


Sebenarnya bukan mau spoiler sih, tapi mau kasi gambaran aja. Kebetulan pas nonton film Barbie, terlihat wajah antusias ekspresi mereka yang ingin menonton Barbie dengan pakaian bernuansa pink, di beberapa scene hingga akhir terlihat enggak puas dengan ending film nya.


Actually, kita enggak akan menemukan scene kissing, hugging or physical touch yang sensitif di film ini.


Jadi saya cukup merekomendasikan film ini untuk anak dibawah 13 tahun. Walaupun batasan usia dari bioskop nya start from 13 years old.


Barbie yang diperankan oleh Margot Robbie dikenal sebagai Stereotype Barbie sejatinya mewakili isu Feminisme. Ken yang diperankan oleh Ryan Gosling, mewakili peran isu Patriarki. Serta Allan, peran yang hanya dimainkan oleh 1 tokoh, beberapa menganggap dia mewakili isu LGBT.


Barbie dalam film ini, dikemas dengan pribadi yg mostly like a human. In the real world, yang tidak ia bayangkan, ternyata banyak ketidakseimbangan peran laki-laki dan perempuan disana, membuat Barbie kehilangan banyak hal, termasuk dream house nya yang akhirnya dikuasai oleh Ken yang merasa Patriarki menjadi cara agar dia dihargai sebagai laki-laki yang tidak ia dapatkan sebelumnya selama di Barbie Land.


Allan sebagai satu-satunya laki-laki disana yang tidak menyukai banyak hal tentang laki-laki, cukup memberi gambaran jelas tentang persentase LGBT yg diwakili oleh 1 tokoh saja dan keberpihakan Allan yang justru lebih senang dengan hukum konstitusi di Barbie Land yang dipimpin oleh Barbie bukan Ken.


Kalau berharap Greta Gerwig sebagai sutradara dengan beberapa film tentang perempuan lainnya seperti "Lady Bird" atau "20th Century Woman" akan mengangkat isu yang sama tentang perempuan dan Feminisme. 


Film Barbie mematahkan kembali harapan penonton, wkwk.. 


Pada akhirnya, Barbie hanya ingin Ken tidak lagi jadi bayang-bayang Barbie dan menjadi dirinya sendiri tanpa menjadi laki-laki yang ia lihat di real world. Dan Barbie hanya ingin Barbie Land memberi kesempatan pada semua Ken untuk menjadi bagian yang sama dalam hukum konstitusi disana. Barbie juga mengatakan bahwa "tidak apa jika Ken menangis, karena Barbie juga pernah menangis". Ini membunuh stigma kalau laki-laki enggak boleh menangis. 


Barbie sepertinya sadar jika Patriarki dan Feminisme tidak bisa saling mengaku kuat, ia cukup tau bahwa kedua isu ini hanya butuh kebermanfaatan bagi banyak hal. 


Pada akhirnya, cerita Barbie sama seperti cerita Pinnochio. Kalau udah pernah nonton Pinocchio, pasti tau apa yang menjadi perubahan besar dalam hidup Barbie !!!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lili Putih

Jodoh Seorang Aktivis