Re-Konsepsi Gender Mainstreaming dalam Upaya Pencapaian Human Security

Sebuah konsep keamanan hidup manusia melalui gagasan-gagasan pembangunan dan keamaanan yang berlaku di lingkungan tersebut. Menurut Rifqi Amin (2015 )Human security adalah sebuah paradigma baru yang dibangun untuk menjamin keamanan yang tidak hanya dalam sekup wilayah tertentu atau negara tapi hingga pada setiap level individu manusia. Artinya, paradigma Human Security berfokus untuk menjamin hak-hak individu serta menjunjung nilai perdamaian. Sehingga bisa tercipta kemanan global. Konsep tersbeut juga menekankan pada proses secara cerdas dan damai dalam menyelesaikan “kesenjangan” yang berpotesi merusak keamanan. merupakan konsep yang fokus terhadap masalah kesejahteraan individu dan keselamatan.

Membahas tentang Human security tidak lepas dari keterkaitannya dengan gender sebagai tujuan dasar peningkatan kualitas SDM (Sumber Daya Manusia). Diikuti dengan pembagian-pembagian dari human security yang terbagi atas ekonomi, pangan, kesehatan, lingkungan, pribadi, kelompok dan poitik. Aspek-aspek ini ditetapkan oleh United Nations Trust Found for Human Security sebagai standar dari bentuk keamanan dan keselamatan manusia. Seruan atas bentuk kebabasan hidup dan mendapatkan Hak Asasi Manusia menjadi elemen pelengkap dalam tujuan Human Security, walaupun konsep ini hanya fokus terhadap isu universal, terlepas dari semua itu, elemen tersebut sudah cukup kuat untuk menjadi standar kualitas penjaminan hidup manusia. Aspek tersebut selaras dengan problematika di indonesia terhadap arusutama gender yang tidak terlepas dari sebagian besar aspek dari fokus Human Security tersebut, terlebih khusus tentang isu gender di dalamnya.

Istilah gender menjadi topik di masyarakat melalui berbagai penafsiran serta aksiologi di hampir seluruh lapisan masyarakat. Membawa isu gender dari ranah sosial hingga beradaptasi menjadi kebijakan publik tingkat nasional, menjadikan isu gender sebagai sebuah isu yang melingkupi seluruh unsur kehidupan manusia. Menurut Rilla Sofitriana (2020) “Gender” adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi pengaruh sosial budaya. Dengan demikian, gender merupakan hasil kolaborasi kultural meliputi peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik antara laki-laki dan perempuan.

Di Indonesia, perempuan telah memiliki hak penuh dalam arena politik sejak 1941 (Periode akhir masa kolonial). Namun pada kenyataanya, peran tersebut masih cukup sulit di dapatkan perempuan dalam hal kedudukan yang tinggi dalam bidang politik misalnya. Megawati Soekarno Putri, Presiden ke lima Indonesia juga ikut mendapat banyak penolakan dan perlawanan, utamanya dari kelompok-kelompok agama tertentu yang mengklaim bahwa sebuah instansi maupun kepemimpinan apabila di pimpin oleh perempuan akan menghancurkan sebuah bangsa.

Menurut Alimatul Qibtiyah (2017) beliau menyampaikan ada beberapa kendala yang menghambat perempuan menjadi anggota legislatif. Pertama, konteks kultural yang masih sangat kental dengan patriarki, menetapkan bahwa wilayah politik adalah wilayah laki-laki dan keterlibatan perempuan dalam dunia politik dianggap tidak patut. Kedua, proses

pemilihan dijalankan berdasarkan latar belakang di mana sebagian besar pimpinan partai politik adalah laki-laki. Pada umumnya perempuan tidak mendapat banyak dukungan dari lawan mereka yang laki-laki. Ketiga, media tidak mendukung gagasan bahwa representasi perempuan di parlemen itu penting. Keempat, kaitan antara partai-partai politik dan organisasi-organisasi perempuan/LSM perempuan yang berjuang untuk keterwakilan perempuan di parlemen terus-menerus dilemahkan. Kelima, kurangnya pendidikan perempuan dan peran tradisional mereka dalam keluarga juga turut menghalangi kemajuan perempuan.

Meskipun saat ini, isu gender semakin hangat diperbincangkan semenjak hadirnya pengajuan RUU PKS pada tahun 2016 yang juga menimbulkan banyak pro kontra dari berbagai elemen masyarakat. Terlepas dari semua itu, progres pemerintah mengenai kesetaraan gender dianggap masih lambat dengan keterlibatan peran manusia dalam merancang sebuah kebijakan publik yang sering kali tidak disertai dengan keterlibatan gender yang seimbang di dalamnya. Kehadiran peran perempuan dianggap bukan sebuah prioritas dalam perumusan strategi sebuah kebijakan yang bersifat fundamentalis. Selaras dengan data terbaru tentang keterwakilan anggota DPR RI perempuan periode 2019-2024 mencapai sebesar 20,5 persen. Artinya, jika di jumlahkan Anggota Parlemen perempuan sekitar 118 Anggota Dewan dari total 575 Anggota terpilih. Angka ini tentunya sangat jauh berbanding dengan komposisi laki- laki di tingkat pemerintahan pusat. Tentunya ini bukan sebuah problematika tanpa rencana, klaim gender tradisional di Indonesia masih cukup egois untuk mengambil kendali utama di berbagai unsur kehidupan manusia.

Persentase gender dalam strutural Anggota Perempuan Wakil Rakyat di Indonesia membuktikan bahwa people center menjadi bentuk kurangnya keterlibatan perempuan dalam memberikan kontribusi perancangan arah kebijakan publik. Hal ini juga menjadi bukti bahwa konsep patriarki pada tingkat pemerintahan sangat mendominasi, walaupun isu gender sering menjadi pembahasan dalam perancangan revisi undang-undang negara.

Pemenuhan kebutuhan peran perempuan dalam berbagai arah kebijakan maupun kontibusi sosial saat ini belum sepenuhnya meliputi kesejahteraan yang substantif. Budaya patriarki yang masih tertanam tajam di setiap generasinya, membuat perempuan sebagai prioritas kesekian kalinya dalam keterlibatan aspek kehidupan manusia. Hambatan ini juga dipengaruhi oleh persentase partisipasi perempuan dalam aspek pendidikan di perguruan tinggi yang saat ini sebesar 20,3 persen, daya kritisi perempuan terhadap isu sosial seakan di tumpulkan oleh budaya patriarki yang seakan menetapkan bahwa perempuan tidak layak memiliki pendidikan tinggi karena pada akhirnya hanya akan kembali ke rumah dan mengurus rumah tangga. selain itu partisipasi perempuan dalam dunia kerja sebesar 514 persen, dibandingan dengan keterlibatan lai-laki dalam dunia kerja sebesar 83 persen, tentunya hal ini menunjukkan bahwa ketertinggalan perempuan masih cukup jauh. Sehingga, perempuan sering dijadikan sebagai alasan besar dalam krisis ekonomi di masyarakat. Inilah yang menjadi dasar kuat bagi perempuan sulit mendominasi unsur di berbagai bidang, terutama kebijakan publik, karena perempuan dianggap tidak memiliki jaminan apapun terhadap tanggungjawab dan resiko atas tindakan substansial.

Terlebih lagi, keputusan Mahkamah Konstitusi telah mengesahkan UU No. 16 Tahun 2019 tentang standar usia menikah bagi perempuan minimal 19 tahun. Walaupun UU tersebut dianggap adil bagi perempuan dimana usia menikah bagi perempuan naik minimal 3 tahun dari sebelumnya 16 tahun , namun usia tersebut merupakan kesempatan perempuan melanjutkan pendidikannya di tingkat perguruan tinggi, namun dorongan budaya patriarki di Indonesia masih menjadi alasan terkuat bahwa perempuan tidak harus memiliki pendidikan tinggi.artinya kesempatan perempuan untuk hadir dan terlibat dengan urusan sosial mau negara.

Akibatnya, perempuan sering di istilahkan dengan “Woman as an object not subject” artinya perempuan sering sengaja ditepatkan dalam posisi tidak berdaya ketika berurusan dengan aspek kehidupan sosial. Sebagai contohnya, perempuan sering dijadikan peran utama dalam masalah negara seperti kasus-kasus kekerasan seksual, bencana alam, penurunan kualitas SDM negara, maupun konteks ekonomi masyarakat yang berfokus pada peran perempuan sebagai objek utama permasalahan tersebut. Hal ini tentu tidak selaras dengan konsep human security sebagai gagasan awal penjaminan kebebasan dan keselamatan hak di ranah publik dan sosial.

Melalui banyak kajian, kesetaraan gender menghantarkan banyak narasi ke masyarakat akan kepedulian peran perempuan dalam menyampaikan aspirasi di sebuah institusi baik pemerintahan maupun lingkungan sosial. Guna meminimalisir domistifikasi gender yang akan terus menjadikan perempuan dalam posisi tidak berdaya, maka perlu adanya pergerakan dasar dalam membangun strategi yang tepat untuk mencapai penjaminan keamanaan dan keselamatan hidup perempuan meliputi hak perempuan dalam kontribusi negara.

Bentuk pengawasan serta advokasi gender dalam konsep human security dapat dikategorikan dalam beberapa aspek. Aspek ekonomi, kesehatan, pangan, personal, politik dan lingkungan. Dasar terbentuknya rekonsepsi dari kesetaraan gender dimulai dari tingkat kelompok paling kecil dalam masyarakat, yaitu keluarga. Aspek-aspek tersebut ditentukan dari kualitas serta pengawasan terhadap daya tahan serta kemampuan beradaptasi setiap anggota keluarga menjalankan setiap peran tanpa melupakan kesejahteraan peran anggota keluarga yang lain. Bimbingan dan evaluasi terhadap setiap perilaku hingga pandanga terhadap aktivitas umum dalam rumah haruslah dirancang dengan melibatkan semua anggota keluarga, sehingga kesejahteraan substantif dalam keluarga bisa menjadi landasan kuat bagi setiap individu di keluarga meneruskan progres peran tersebut di berbagai elemen masyarakat.

Keterlibatan perempuan dalam dunia pendidikan khususnya tingkat perguruan tinggi juga ikut berpengaruh pada pola perubahan cara pandang melihat keluarga dan lingkungannya. Perlunya kesadaran atas kesetaraan laki-laki dan perempuan harus dikawal ketat oleh setiap lapisan masyarakat, agar kesenjangan gender ini tidak berakar pada kemampuan intelektual masyarakat.

Pada aspek kesehatan, peran perempuan sering menjadi korban sekaligus tokoh utama tingkat kualitas kesehatan di sebuah negara. Persentase wabah penyakit sering

menampilkan perempuan sebagai peran yang mudah terinfeksi sebuah penyakit, dalam artian bahwa perempuan dianggap rentan terdampak sebuah penyakit. Selain itu, isu tentang kekerasan seksual lebih di identikkan dengan perempuan sebagai korban paling banyak dari perhitungan maupun analisa berbagai lembaga. Aspek ini haruslah merubah peran perempuan untuk tidak terus menerus menjadi tokoh utama dalam aspek kesehatan, melalui banyak kajian dan sosialisasi, perempuan layak mendapatkan tempat sekaligus agen kesehatan paling utama guna meningkatkan kualitas kesehatan di sebuah negara.

Pendampingan advokasi secara gender mainstreaming ( (pengarusutamaan gender) meliputi strategi yang dilakukan secara rasional dan sistematis untuk mencapai dan mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam sejumlah aspek kehidupan manusia. Penyelarasannya dengan kesetaraan gender meliputi akses dan benefit guna meningkatkan resistensi dan resiliensi peran perempuan dalam kebijakan sebuah negara. Perempuan harus mendapatkan tempat agar mampu bertahan dengan kondisi apapun yang bisa saja menanggung sebuah kewajiban besar baginya. Selain itu, memberikan kesempatan bagi perempuan untuk beradaptasi serta mengatasi sebuah permasalahan di masyarakat tanpa mengklaim secara gender dengan menganggap bahwa perempuan tidak mampu menyelesaikannya. Menghentikan bentuk domistifikasi gender dengan menempatkan perempuan hanya pada wilayah rumah tangga saja.

Pengkonsepan ulang tentang hak hak perempuan ini harus diikuti dengan kemampuan dan potensi perempuan dalam memahasi sistem kerja dalam sebuah arus kebijakan. Berdasarkan dari apek ketercapain kesejahteraan human security, sudah semestinya perempuan mendapatkan posisi yang sama dengan laki-laki sebagai peran di kehidupan keluarga dan masyarakat. Menempatkan kodrat lakil-laki dan perempuan berdasarkan dari fungsi peran yang tidak bisa digantikan satu sama lain, sebatas itu dan tidak mengaitkannya lebih banyak pada elemen masyarakat yang lain.

Hal terpenting dalam pengawasan konsep gender mainstreaming ini adalah memberikan kesempatan perempuan untuk terlibat aktif baik di dunia pendidikan dan dunia kerja, sehingga akan menurunkan tingkat peran perempuan sebagai kaum lemah dan korban dalam sebuah masalah. Melibatkan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan manusia dalam kategori syarat tercapainya human security, di anggap sebagai solusi paling tepat agar perempuan mendapatkan posisi yang sama di dalam masyarakat.

Daftar Pustaka

Amin, A.Rifqi. 2015. Pengembangan Pendidikan Agama Islam. Yogyakarta. LKIS Pelangi Asara. https://money.kompas.com/read/2019/12/23/050600626/wef--kesenjangan-partisipasi-

kerja-perempuan-di-indonesia-masih-tinggi?page=all

Sofitriani, Rilla. 2020. Kajian Gender dalam Tinjauan Psikologi. Sidoarjo. Uwais Inspirasi Indonesia

Qibtiyah, Alimatul. 2017. Feminisme Muslim di Indonesia. Yogyakarta. Suara Muhammadiyah


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Barbie Land

Lili Putih

Jodoh Seorang Aktivis