JEDA


JEDA

Layaknya sebuah narasi, hidup juga perlu tanda baca untuk setiap perjalanan katanya. Setiap kalimat punya alasan sendiri untuk memilih dan meletakkan titik, koma, tanda tanya dan tanda seru sebagai pemisah agar kalimat itu punya makna yang berbeda. Kadang kita enggak faham mengapa tanda itu tiba-tiba hadir di saat yang tidak kita harapkan. Seakan-akan cerita itu jadi nggak asik lagi untuk di teruskan. Menganggap kalau tanda bacanya salah saat di tempatkan pada fase itu, dan bagi kita narasi itu bisa saja jadi bagian terburuk dalam cerita yang kita buat. Atau bisa jadi, Tuhan sengaja menyoret goresan yang sudah kita tulis sempurna lalu menggantinya dengan harapan lain serta tanda baca berbeda, agar kita sadar diri kalau kita ini hanya sebagai pemeran tanpa kuasa ? Kadang benci ketika setiap kalimat dipisahkan dengan koma, jarak itu terlalu menyakitkan jika harus melibatkan masa lalu untuk sampai di titik berikutnya. Emang enggak ada pilihan selain menyelesaikannya, walaupun Tuhan kadang dianggap salah.

Sudah hampir 40 hari mahluk tak kasat mata itu memaksa kita memutar rencana tentang mimpi kita. Menjadikan rumah sebagai perwakilan alam semesta yang punya segalanya untuk di pahami, tapi ada kalanya semesta juga bukan dunia yang cukup untuk kita yang punya imajinasi luas tentang galaksi. Wajar kalau rumah bisa jadi tempat paling menyeramkan daripada gang sempit dan gelap di persimpangan jalan. Iya.. pandemi ini seakan jadi tanda baca yang kita aja enggak tau ini titik atau koma, atau bahkan tanda seru yang sebisa mungkin memaksa kita untuk diam dalam angan kita. Semua bayangan tentang liburan dan rebahan jauh dari ekspentasi, untuk pertama kalinya aku capek tidur, bosen makan, dan ngk pingin liburan. Kenapa sih, narasi yang seneng-seneng harus di ubah? dan kenapa harus di ganti dengan rasa susah?

Tapi bentar deh, masa anything from home ini aku tiba-tiba ingat dengan sahabat lama ku yang chatting terakhir kami sudah lebih dari 6 bulan tidak terjamah. Tiba-tiba juga enggak sengaja nemuin bros jilbab yang udah lama nggak aku pakai, dan kamu percaya nggak ternyata aku masih nyimpen surat dan puisi tentang dia. Duh, jadi flashback kan jadinya, terus auto netes lagi nih air mata pas bacanya, kayak pingin bilang “Aku nyesel ninggalin kamu”. Ehhhh.. udah ah, jangan bawa masa lalu ke masa depan, biarkan ia menetap di tempatnya. (bukan tempat sampah ya). Well, kepikiran juga dengan prestasi yang aku raih selama pandemi ini, tau nggak? akhirnya aku tau caranya masa bubur dengan panci. Aneh ya? tapi bangga aja gitu, bisa enggak gosong buburnya.

Fase pandemi ini buatku bertanya-tanya setiap hari tentang tanda baca apa yang Tuhan letakkan di narasi kali ini. Hampir tiap hari, panggilan-Nya coba ku turuti, buku diary-Nya aku pahami, berharap ada jawaban yang bisa mematahkan egosiku. Makin ke sini aku makin bingung dengan revisi Tuhan dengan narasiku, seakan aku di giring untuk nyalahin diri dengan apa yang terjadi dan apa yang udah aku lakukan ke orang lain. Padahal kan enggak semua kebohongan itu harus disalahkan dan enggak semua rasa nyaman itu harus di hentikan. Tebakan kali ini susah banget dipecahin, apa kita udahin aja ya nulisnya? huft.. capek juga kali terus-terusan minta maaf, bilang makasih padahal mereka cuma balas senyum, coba ketawa dengan candaan yang sebenarnya kayak kerupuk alias garing, dan coba terlihat baik di saat perasaan enggak baik-baik aja.

Jujur aku bingung, paragraph mana lagi yang harus di tebak dengan rasa sesal. Tuhan buat aku tuh menjawab kegagalan yang aku rencanakan, membuatku jatuh ke sebuah ruang yang aku saja tak tau bagaimana aku bisa masuk kedalamnya, dan aku di paksa untuk keluar dari ruangan itu tanpa ada pintu yang bisa ku buka.
Namun pada akhirnya, aku faham tanda baca apa yang Tuhan berikan saat ini pada narasi kehidupanku. Tanpa aku sadar, kehidupanku ini terlalu banyak di habiskan di perjalanan tanpa ada perhentian sementara, lebih sering hangout bareng teman, cari kebahagiaan dengan sibuk di organisasi, sibuk mengejar nilai dosen, hingga kita lupa ada yang banyak menanti kita untuk pulang. Bagiku, mungkin pulang jadi perjalanan yang ku benci, tapi aku lupa kalau secangkir teh di atas meja makan itu sudah tak lagi hangat ketika ku pulang. Aku lupa, jika banyak yang menungguku pulang, menungguku untuk menceritakan setiap lampu merah yang aku lewati hari ini.

Ternyata Tuhan sudah lama memberikan alasan mengapa ada tanda baca pada kalimatku saat ini. Tuhan menginginkan ku untuk berhenti sejenak dari perjalananku yang tiada habis, memberi jeda agar aku punya waktu untuk berdialog dengan diriku, memberi jeda agar aku memahami bahwa kebohongan itu memang tidak selalu salah tapi bukan berarti rasa nyaman menjadi alasan ku berhenti. Tuhan memberiku jeda agar memahami alasan mengapa  ibu ku tidak mencuci semua piring di dapur, mengapa ayah ku sering pergi dengan motorku, mengapa nenek sering marah saat aku enggak nginep dirumahnya, dan alasan mengapa sahabatku mulai menghentikan chat saat aku masih ingin bercerita.
Masa pandemi ini ternyata alasan Tuhan agar aku memberi jeda pada diri untuk mengevaluasi salah mereka sekaligus salahku. Aku mulai sadar, selama ini ternyata banyak kekhilafan yang tertunda, banyak muhasabah yang ter entar-entar, dan banyak kesalahfahaman yang sengaja dilupakan.

Untuk aku yang merasa kesepian saat ini, ingat saja bahwa jarak tak berarti pisah, jarak tak berarti jauh, jarak tak berarti abaikan mereka. Tapi jadikan ini waktu yang tepat untuk memberi jeda pada diri agar bisa merawat mimpi itu tetap nyata, untuk membuat semesta ku lebih luas dari pada dunia, agar kita bisa menyelesaikan cerita ini sampai pada tanda titik. Menjadikan fase ini jadi waktu terbaik untuk aku puas menangis, ketawa, membenci, menyesal dan semua rasa yang sudah lama terpendam, agar aku tidak lagi menyisakannya saat aku sedang merancang masa depan.

Iya.. aku faham mengapa tanda baca itu Tuhan buat, karena Tuhan mau aku dewasa dengan caraku sendiri. Jeda ku kali ini, aku berikan untuk pemiliki tanda baca itu, aku ingin berdiskusi dengan Tuhan tentang rencana masa depanku, tentang tanda baca apa lagi yang akan ia berikan pada narasi hidupku berikutnya. ~Jeda~



Komentar

  1. Suka banget dengan diksi dan narasi yg dhesty pakek. Terus berkarya lewat apapun, termasuk tulisan.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Barbie Land

Lili Putih

Jodoh Seorang Aktivis